DNA Nano-Particle Therapy

Researchers from Johns Hopkins and Northwestern University have found a way to control the shape of nanoparticles that serve to move the DNA in the body.

This is default featured post 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured post 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Light Allergic Desease

Light Allergic Diseases This strange disease suffered by a girl who was afraid he alegri light when exposed to light.

This is default featured post 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Showing posts with label Serba-Serbi. Show all posts
Showing posts with label Serba-Serbi. Show all posts

Monday, February 18, 2013

Mesin Otomatis untuk Merekonstruksi Bahasa Purba

Bahasa Purba
Model komputasi ini didasarkan pada ketetapan teori linguistik bahwa kata-kata yang berevolusi di sepanjang cabang-cabang pohon keluarga mencerminkan kekerabatan linguistik yang berevolusi dari waktu ke waktu.
Bahasa purba menyimpan harta karun berupa informasi tentang budaya, politik dan perdagangan di masa ribuan tahun lalu. Namun, merekonstruksi bahasa purba untuk mengungkapkan petunjuk tentang sejarah manusia membutuhkan kerja keras selama puluhan tahun. Kini, para ilmuwan dari University of California, Berkeley, telah menciptakan sebuah “mesin waktu” otomatis, yang akan mempercepat dan meningkatkan proses rekonstruksi ratusan bahasa leluhur.
Dalam rangka menghadirkan contoh tentang bagaimana “data besar” dan mesin pembaca mulai menciptakan dampak yang signifikan bagi semua aspek pengetahuan, para peneliti dari UC Berkeley dan University of British Columbia telah menciptakan sebuah program komputer yang dapat merekonstruksi dengan cepat “proto-bahasa”, linguistik nenek moyang yang menjadi asal muasal semua bahasa modern berevolusi. Bahasa paling awal yang baru diketahui meliputi Proto-Indo-Eropa, Proto-Afroasiatik dan, dalam kasus ini, Proto-Austronesia, yang memunculkan bahasa di Asia Tenggara, beberapa bagian di benua Asia, Australasia dan Pasifik.
“Yang mengejutkan saya tentang sistem ini adalah dibutuhkan begitu banyak ide-ide besar yang dimiliki para ahli bahasa dalam hal rekonstruksi sejarah, dan secara otomatis mengubah ide-ide tersebut ke dalam skala baru: lebih banyak data, lebih banyak kata, lebih banyak bahasa, namun dengan lebih sedikit waktu,” kata Dan Klein, profesor ilmu komputer di UC Berkeley.
Model komputasi dari tim peneliti ini menggunakan penalaran probabilistik – yang mengeksplorasi logika dan statistik untuk memprediksi suatu hasil – merekonstruksi lebih dari 600 bahasa Proto-Austronesia dari ketersediaan database yang memuat lebih dari 140.000 kata, mereplikasi apa yang sudah dilakukan secara manual oleh para ahli bahasa dengan tingkat akurasi hingga 85 persen. Sementara rekonstruksi manual merupakan proses ketelitian yang memakan waktu hingga bertahun-tahun, sistem ini dapat melakukan rekonstruksi berskala besar dalam hitungan hari atau bahkan jam, kata para peneliti.



Cabang-cabang bahasa purba pada pohon silsilah Proto-Austronesia menjadi bagian dari bahan rekonstruksi yang secara otomatis diproses dengan model komputasi UC Berkeley. (Kredit: University of California – Berkeley)


Program ini tidak saja akan mempercepat kemampuan para ahli bahasa untuk merombak dunia proto-bahasa dalam skala besar, meningkatkan pemahaman kita tentang peradaban kuno berdasarkan kosakata mereka, namun juga dapat memberi petunjuk pada bagaimana bahasa bisa berubah di tahun-tahun mendatang dari sekarang.
“Model statistik kami dapat digunakan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan ilmiah tentang bahasa dari masa ke masa, tidak hanya untuk membuat kesimpulan tentang masa lalu, tetapi juga untuk memprediksi bagaimana bahasa bisa berubah di masa depan,” kata Tom Griffiths, profesor psikologi dan direktur Computational Cognitive Science Lab di UC Berkeley.
Penemuan UC Berkeley ini bertujuan untuk memaknai data yang besar serta menggunakan teknologi baru untuk dokumentasi dan memelihara bahasa yang terancam punah sebagai sumber daya yang penting bagi pelestarian budaya dan pengetahuan. Sebagai contohnya, para peneliti berencana menggunakan model komputasi yang sama untuk merekonstruksi proto-bahasa asli Amerika Utara.
Catatan tertulis paling awal yang dibuat manusia sudah muncul lebih dari 6.000 tahun yang lalu, lama setelah bermunculannya proto-bahasa. Sementara para arkeolog dapat sekilas menangkap langsung bahasa purba dalam bentuk tulisan, ahli bahasa biasanya menggunakan apa yang dikenal sebagai “metode komparatif” untuk menyelidiki masa lalu. Metode ini menetapkan kekerabatan antar bahasa, mengidentifikasi suara yang berubah dengan keteraturan dari waktu ke waktu untuk menentukan apakah suara tersebut berakar dari bahasa ibu yang sama.
“Untuk memahami bagaimana bahasa berubah – yang terdengar lebih mungkin untuk berubah dan seperti apa jadinya hasil perubahan itu – dibutuhkan rekonstruksi dan analisis sejumlah besar bentuk kata leluhur, di mana rekonstruksi otomatis memainkan peran penting,” kata Alexandre Bouchard-Côté, asisten profesor statistik di University of British Columbia dan penulis utama studi.
Model komputasi UC Berkeley ini didasarkan pada ketetapan teori linguistik bahwa kata-kata yang berevolusi di sepanjang cabang-cabang pohon keluarga – lebih seperti pohon silsilah – mencerminkan kekerabatan linguistik yang berevolusi dari waktu ke waktu, dengan akar dan simpul yang mewakili proto-bahasa serta daun yang mewakili bahasa modern.
Dengan menggunakan algoritma yang dikenal sebagai sampler Markov merantai Monte Carlo, program ini memilah-milah berbagai set rumpun, kata-kata dalam beberapa bahasa yang berakar dari satu suara, sejarah dan asal yang sama, untuk menghitung peluang adanya set yang merupakan turunan dari proto-bahasa tertentu. Pada tiap-tiap langkah, program ini menyimpan rekonstruksi terhipotesis untuk tiap kognitif dan tiap bahasa leluhur.
“Karena perubahan suara dan rekonstruksinya saling terkait erat, maka sistem kami menggunakannya untuk meningkatkan satu sama lain secara berulang-ulang,” jelas Klein. “Sistem ini pertama memperbaiki prediksinya pada perubahan suara dan menyimpulkan rekonstruksi bentuk-bentuk purba yang lebih baik lagi. Selanjutnya memperbaiki rekonstruksi dan menganalisis ulang perubahan suara. Langkah-langkah ini diulang, dan kedua prediksi secara bertahap meningkat sebagai dasar struktur yang muncul dari waktu ke waktu.”

Kredit: University of California – Berkeley
Jurnal: A. Bouchard-Cote, D. Hall, T. L. Griffiths, D. Klein. Automated reconstruction of ancient languages using probabilistic models of sound changeProceedings of the National Academy of Sciences, 2013; DOI: 10.1073/pnas.1204678110

(Sumber http://faktailmiah.com/)

Saturday, February 16, 2013

Gas Oksida Nitrat yang Dihasilkan Bakteri Dapat Memperpanjang Usia

Usia C. elegans rata-rata meningkat hampir 15 persen, atau menjadi sekitar dua minggu, saat para peneliti memberinya makanan berupa bakteri B. subtilis.
Oksida nitrat, gas serbaguna yang membantu meningkatkan aliran darah, mengirimkan sinyal saraf, dan mengatur fungsi kekebalan tubuh, tampaknya memiliki satu lagi manfaat biologis: Memperpanjang usia dan membentengi organisme dari tekanan lingkungan.
Penelitian ini mengungkapkan bahwa cacing gelang yang disebut Caenorhabditis elegans, hewan yang sering digunakan dalam laboraturium untuk meneliti proses penuaan, hidupnya menjadi jauh lebih panjang saat diberi makanan berupa bakteri yang mampu memproduksi oksida nitrat. Pengamatan yang cukup menggoda ini menitikberatkan pada salah satu mekanisme di mana microbiome, atau triliunan sel mikroba yang mendiami tubuh kita, mungkin berperan penting bagi kesehatan kita.
Tingkat nitrat oksida kita sendiri menurun seiring bertambahnya usia. Penurunan inilah yang menyebabkan penuaan secara normal, kata Evgeny Nudler, PhD, Profesor Biokimia di NYU Langone Medical Center, yang memimpin studi ini. Ia berspekulasi bahwa bakteri-bakteri pelengkap mungkin memberi dorongan kesehatan dengan menyediakan beberapa senyawa yang hilang pada manusia.
“Pada cacing, kita kini tahu bahwa bakteri dapat menggunakan oksida nitrat tidak hanya untuk keuntungan mereka sendiri, tapi juga memberi respon yang menguntungkan bagi inang mereka, dan hal yang sama mungkin bisa menjadi terwujud dalam usus manusia,” tutur Dr. Nudler, “Mungkin bisa saja terjadi bahwa bakteri yang satu makanan dengan kita (bakteri komensal) mengontrol beberapa gen kita, setidaknya dalam usus, untuk melindungi sel-selnya dari tekanan dan penurunan yang terkait usia.” Bakteri komensal memberi keuntungan bagi organisme yang mereka huni.
Gambar ini menunjukkan cacing yang memancarkan sinar neon dalam menanggapi NO. Ini mengekspresikan salah satu dari gen stres/anti-penuaan, hsp16, dalam merespon oksida nitrat. (Kredit: Evgeny Nudler, Ph.D.)

Meskipun manusia dan kebanyakan organisme lainnya memiliki enzim yang diperlukan untuk memproduksi oksida nitrat, namun C. elegans tidak memilikinya. Sebaliknya, cacing itu bisa “membajak” senyawa dari bakteri tanah Bacillus subtilis yang tidak hanya merupakan makanan favoritnya tapi juga penghuni utama dalam usus cacing tersebut. Dr. Nudler berpendapat bahwa ”pembajakan” ini sebagian menjelaskan mengapa cacing yang mengkonsumsi B. subtilis bisa mencapai usia sekitar 50 persen lebih panjang dibanding rekan-rekannya yang mengkonsumsi Escherichia coli, sejenis bakteri yang tidak memproduksi senyawa tersebut.
Dalam studi yang dipublikasikan dalam jurnal Cell edisi 14 Februari ini, memperlihatkan usia C. elegansyang rata-rata meningkat hampir 15 persen, atau menjadi sekitar dua minggu, saat para peneliti memberinya makanan berupa bakteri B. subtilis. Perpanjangan rentang usia ini tidak terjadi pada cacing yang diberi makanan berupa B. subtilis mutan di mana gen penghasil nitrat oksida-nya sudah dihapus. Tim riset juga menggunakan sensor neon untuk menunjukkan bahwa C. elegans tidak menghasilkan gas nitrat oksida untuk dirinya sendiri. Namun saat cacing ini diberi makan bakteri B. subtilis, sinyal neon seketika muncul dalam ususnya.
Pelabelan neon dan beberapa tes lainnya juga menunjukkan bahwa oksida nitrat yang dihasilkan B. subtilis menembus hingga ke dalam jaringan cacing, di mana gas ini kemudian mengaktifkan serangkaian 65 gen. Beberapa dari gen ini sebelumnya terlibat dalam melawan tekanan, merespon kekebalan, dan memperpanjang usia, meskipun beberapa gen lainnya memiliki fungsi yang tidak diketahui. Namun yang penting, para peneliti menunjukkan bahwa terdapat dua protein regulasi yang sangat penting untuk mengaktifkan semua gen tersebut.
“Apa yang kami temukan, gas oksida nitrat yang diproduksi bakteri dalam cacing ini menyebar ke seluruh jaringan dan mengaktifkan seperangkat gen yang sangat spesifik untuk bertindak melalui dua regulator utama, HSF-1 dan daf-16, sehingga menghasilkan resistensi yang tinggi terhadap tekanan dan hidup menjadi lebih panjang,” jelas Dr. Nudler. “Sungguh mengejutkan bahwa satu molekul kecil yang dihasilkan oleh satu organisme ini secara dramatis dapat mempengaruhi fisiologi dan bahkan mempengaruhi usia organisme lain melalui pengiriman langsung sinyal sel.”
Sebagai bagian dari peran oksida nitrat yang luas, laboraturium Dr. Nudler sebelumnya telah menunjukkan betapa bahayanya patogen jika dapat memanfaatkan molekul tersebut untuk melawan antibiotik. Terlepas dari kapabilitasnya yang luas, penelitian baru ini menunjukkan bahwa oksida nitrat hanyalah satu dari beberapa molekul menguntungkan yang diproduksi B. subtilis. Laboratorium Dr. Nudler berencana untuk mengamati lebih dekat mekanisme-mekanisme potensial lainnya di mana bakteri komensal dapat meningkatkan kesehatan dan memperpanjang usia, dengan menggunakan model berupa manipulasi sistem C. elegans yang mudah dan ampuh.

Kredit: NYU Langone Medical Center
Jurnal: Ivan Gusarov, Laurent Gautier, Olga Smolentseva, Ilya Shamovsky, Svetlana Eremina, Alexander Mironov, Evgeny Nudler. Bacterial Nitric Oxide Extends the Lifespan of C. elegans. 14 February 2013, Cell; DOI: 10.1016/j.cell.2012.12.043

(Sumber: http://faktailmiah.com/) 





Friday, February 1, 2013

Evolusi Kultur Mengubah Nyanyian Burung

Pipit savannah
Perubahan ini merupakan hasil transmisi kultur elemen-elemen kicauan yang berbeda-beda dari generasi ke generasi.
Berkat evolusi kultur, burung pipit jantan Savannah mengubah irama kicaunya, sebagian untuk menarik para betina. Berdasarkan penelitian pada burung pipit Savannah selama lebih dari 30 tahun, ternyata burung-burung saat ini memiliki irama kicauan yang jelas berbeda dengan nenek moyang mereka yang hidup 30 tahun lalu, dan perubahan itu berlangsung secara terus-menerus dari generasi ke generasi, demikian menurut temuan studi dari para peneliti Universitas Guelph ini.
Profesor biologi integratif Ryan Norris dan Amy Newman, bekerja sama dengan para peneliti dari Bowdoin College dan Williams College, AS, telah menganalisa irama kicau pipit jantan Savannah (Passerculus sandwichiensis) yang direkam selama lebih dari tiga dekade. Hasilnya, irama kicau burung-burung itu mengalami perubahan tegas dari tahun 1980 hingga 2011.
“Perubahan ini merupakan hasil transmisi kultur elemen-elemen kicauan yang berbeda-beda dari generasi ke generasi,” kata Norris.
Norris menambahkan bahwa perubahan kicauan itu mirip dengan perubahan dalam pilihan kata dan bahasa di antara manusia.
“Jika diperhatikan bagaimana orang berbicara pada tahun 1890-an dan bagaimana kita berbicara di zaman sekarang, Anda akan temukan perbedaan yang besar, dan ini merupakan hasil dari peralihan kultur atau popularitas bentuk-bentuk tertentu,” katanya, “Perubahan pada kicauan burung pipit dari waktu-waktu terjadi dengan cara yang sangat sama.”
Burung-burung pipit yang hidup di pulau Kent, N.B., teluk Fundy ini, secara umum bisa menyanyikan jenis kicauan sama yang terdiri dari beberapa bagian. Burung-burung pipit jantan mempelajari kicauan awal di tahun pertama mereka, lalu berlanjut dengan menyanyikan jenis kicauan yang sama selama sisa hidup mereka.
“Burung pipit jantan yang masih belia belajar berkicau dari burung-burung di sekitarnya,” kata Norris, “Mungkin dari ayahnya, atau mungkin dari burung-burung jantan lain yang ada di dekatnya.”
Tiap-tiap burung pipit jantan memiliki suara yang unik, tambah Newman.
“Semua burung pipit di pulau ini menyanyikan karakteristik ‘nyanyian pipit savannah’, dengan versi yang sama dan suara yang serupa, namun terdapat perbedaan yang cukup jelas di antara tiap-tiap burung. Pada dasarnya, itu seperti versi lagu karaoke yang populer, timbul dan tenggelam dalam berbagai versi populer yang berubah dari waktu ke waktu.”
Bayi Pipit savannah

Burung pipit Savannah mengubah suara kicauannya dari waktu ke waktu, hasil dari evolusi kultur. (Kredit: Universitas Guelph)
Tim riset menemukan bahwa, pada umumnya, tiap-tiap nyanyian memiliki tiga elemen utama. Pertama menandakan si burung sebagai burung pipit Savannah, kedua mengidentifikasikan tiap-tiap individu, dan komponen ketiga digunakan para betina untuk menilai pejantan.
Dengan menggunakan rekaman sonogram untuk merekam kicauan pipit jantan pada setiap musim kawin, para peneliti memastikan bahwa, meski nada-nada pengantar pada umumnya tetap konsisten selama 30 tahun terakhir, burung-burung pipit telah menambahkan serangkaian ‘klik’ ke tengah nyanyian-nyanyian mereka. Burung-burung itu juga mengubah getaran akhir: yang dulunya panjang dan berfrekuensi tinggi, maka kini lebih pendek dan berfrekuensi rendah.
“Kami menemukan bahwa suara getaran akhir pada nyanyian menjadi lebih pendek, tampaknya itu karena para burung pipit betina menyukainya sebagai tanda bahwa burung jantan bersuara getaran pendek memiliki tingkat keberhasilan reproduksi yang lebih tinggi,” kata Norris.
“Kami mengetahui identitas dan sejarah tiap-tiap burung pipit dalam populasi studi ini, ” klaim Norris, yang memimpin penelitian ini bersama Newman sejak tahun 2009. “Sangat langka untuk bisa memiliki rekaman selama 30 tahun, dan pastinya sangat mengejutkan saat melihat perubahan-perubahan drastis seperti itu.”
Kredit: Universitas Guelph
Jurnal: Heather Williams, Iris I. Levin, D. Ryan Norris, Amy E.M. Newman, Nathaniel T. Wheelwright. Three decades of cultural evolution in Savannah sparrow songs. Animal Behaviour, 2013; 85 (1): 213 DOI: 10.1016/j.anbehav.2012.10.028

Bakteri dalam Troposfer

image
Tak terpikirkan akan menemukan begitu banyak mikroorganisme di dalam troposfer, tempat yang selama ini dianggap sebagai lingkungan yang sulit bagi kehidupan.
Dalam sebuah studi terobosan, para peneliti menggunakan teknik genomik untuk mendokumentasikan keberadaan sejumlah besar mikroorganisme –terutama bakteri– yang hidup pada bagian tengah dan bagian atas troposfer, salah satu bagian atmosfer yang terletak sekitar 4-6 mil di atas permukaan bumi.
Entah apakah mikroorganisme ini memang sudah secara rutin menghuni bagian atmosfer tersebut –mungkin hidup pada senyawa-senyawa karbon yang juga ditemukan di sana– ataukah mereka hanya terangkat ke atas dari permukaan bumi, hal ini masih belum diketahui pasti. Namun tentunya temuan ini menarik minat para ilmuwan atmosfer karena mikroorganisme tersebut dapat berperan dalam pembentukan es yang mempengaruhi cuaca dan iklim. Transportasi jarak jauh bakteri ini juga bisa menjadi menarik untuk dijadikan model transmisi penyakit.
Pendokumentasian mikroorganisme dalam sampel udara ini merupakan bagian dari program Genesis and Rapid Intensification Processes (GRIP) dari NASA, bertujuan meneliti massa udara yang berkaitan dengan badai tropis. Pengambilan sampel dilakukan dengan pesawat DC-8, baik di atas darat maupun di atas lautan, termasuk di kawasan Laut Karibia dan beberapa bagian Samudera Atlantik. Pengambilan sampel berlangsung sebelum, selama dan sesudah terjadinya dua badai besar, Earl dan Karl, pada tahun 2010.
Riset yang didukung NASA dan National Science Foundation ini dipublikasikan secara online dalam jurnal Proceedings of the National Academy of Sciences, 28 Januari 2012.
clip_image001[6]
Lulusan Institut Teknologi Georgia, Natasha DeLeon-Rodriguez, menunjukkan plat kaca berisi bakteri yang sedang berkembang, yang diambil dari sampel udara troposfer. (Kredit: Gary Meek – Institut Teknologi Georgia)

“Kami tak mengira akan menemukan begitu banyak mikroorganisme di dalam troposfer, tempat yang selama ini dianggap sebagai lingkungan yang sulit bagi kehidupan,” kata Kostas Konstantinidis, asisten profesor di Sekolah Teknik Sipil dan Lingkungan Hidup, Institut Teknologi Georgia. “Spesies di sana tampaknya cukup beragam, tapi tidak semua bakteri berhasil mencapai bagian atas troposfer.”
Pada pesawat, terdapat sebuah sistem filter yang dirancang oleh tim peneliti untuk mengumpulkan partikel –termasuk mikroorganisme– dari udara luar yang memasuki alat pemantau sampel. Filter-filternya kemudian dianalisis dengan menggunakan teknik genomik yang meliputi polymerase chain reaction (PCR) dan pengurutan gen. Cara ini memungkinkan para peneliti untuk mendeteksi mikroorganisme dan memperkirakan jumlahnya tanpa perlu menggunakan teknik konvensional kultur-sel.
Jika massa udara yang diteliti berasal dari ketinggian di atas laut, maka sebagian besar yang ditemukan pada sampel adalah bakteri laut. Sedangkan massa udara yang berasal dari ketinggian di atas darat, sebagian besar terdiri dari bakteri darat. Para peneliti juga menemukan bukti kuat bahwa badai memiliki dampak yang signifikan terhadap distribusi dan dinamika populasi mikroorganisme.
pesawat-DC-8-milik-NASASuasana luar yang terlihat dari jendela pesawat DC-8 milik NASA saat melakukan pengumpulan sampel udara untuk penelitian massa udara yang berhubungan dengan badai tropis. (Kredit: NASA).
Hasil studi menunjukkan bahwa sel-sel bakteri mewakili rata-rata sekitar 20 persen dari jumlah total partikel yang terdeteksi dalam rentang jarak 0,25 hingga 1 mikron per diameter. Setidaknya dalam satu urutan besar, bakteri melampaui jumlah jamur dalam sampel, dan para peneliti mendeteksi 17 jenis taksa bakteri –termasuk beberapa taksa yang mampu memetabolisme senyawa-senyawa karbon yang terkandung di atmosfer– seperti asam oksalat.
“Mikroorganisme bisa memiliki dampak yang sebelumnya tidak diketahui terhadap pembentukan awan dengan cara melengkapi (atau menggantikan) partikel abiotik yang biasanya berfungsi sebagai inti untuk membentuk kristal es,” kata Athanasios Nenes, profesor di Sekolah Teknik Ilmu Bumi dan Atmosfer dan Sekolah Teknik Kimia dan Biomolekuler.
“Meski tak ada debu atau bahan-bahan lain yang mampu menyediakan inti yang baik untuk pembentukan es, namun hanya dengan memiliki sejumlah kecil mikroorganisme ini, pembentukan es dapat terfalisitasi di ketinggian tersebut serta menarik kelembaban di sekitarnya,” kata Nenes. “Jika ukuran mereka tepat untuk membentuk es, maka mereka bisa mempengaruhi awan di sekitar mereka.
Mikroorganisme ini sepertinya mencapai troposfer melalui proses yang sama dengan proses pelepasan debu dan garam laut ke angkasa. “Karena ada begitu banyak bakteri dan bahan organik di permukaan laut, bakteri bisa saja ikut terbawa ke atas oleh pelepasan yang terjadi di laut,” kata Nenes.


Riset ini melibatkan para ahli mikrobiologi, pemodel atmosfer dan peneliti lingkungan hidup yang menggunakan teknologi terbaru untuk mempelajari DNA. Di masa mendatang, para peneliti berencana meneliti apakah jenis bakteri tertentu bisa lebih fit dibanding jenis lain dalam bertahan hidup di ketinggian tersebut. Para peneliti juga ingin memahami lebih jauh peran mikroorganisme – dan memastikan apakah mereka memang menjalankan fungsi metabolisme di dalam troposfer.
“Bagi organisme-organisme ini, mungkin kondisinya tidak sekeras itu,” kata Konstantinidis. “Saya takkan terkejut jika ada kehidupan aktif dan bertumbuh di awan, tapi untuk sekarang, itu masih belum bisa diketahui dengan pasti.”
image
Para peneliti Institut Teknologi Georgia tengah mempelajari mikroorganisme yang dikumpulkan dari massa udara bagian tengah dan bagian atas troposfer. (Kredit: Gary Meek – Institut Teknologi Georgia)
Peneliti-peneliti lain sebelumnya hanya
mengumpulkan sampel biologis dari puncak gunung atau dari sampel-sampel salju, sedangkan untuk mengumpulkan bahan biologis dari pesawat jet, seperti yang dilakukan dalam studi ini, diperlukan tatanan eksperimental yang sama sekali baru. Para peneliti juga harus mengoptimalkan beberapa protokol untuk mengekstraksi DNA dari berbagai tingkatan massa biologis yang jauh lebih rendah dibanding apa yang biasanya mereka pelajari dari tanah atau danau.
“Kami sudah menunjukkan bahwa teknik kami ini berhasil, dan bahwa kami bisa menemukan beberapa informasi yang menarik,” kata Nenes. “Sebuah bagian besar dari partikel atmosfer yang secara tradisi selalu diduga sebagai debu atau garam laut, mungkin sebenarnya adalah bakteri. Pada titik ini kami hanya melihat apa yang ada di atas sana. Jadi, ini hanyalah awal dari apa yang kami harap bisa lakukan.”
Kredit: Institut Teknologi Georgia
Jurnal: Natasha DeLeon-Rodriguez, Terry L. Lathem, Luis M. Rodriguez-R, James M. Barazesh, Bruce E. Anderson, Andreas J. Beyersdorf, Luke D. Ziemba, Michael Bergin, Athanasios Nenes, Konstantinos T. Konstantinidisa. Microbiome of the upper troposphere: Species composition and prevalence, effects of tropical storms, and atmospheric implications. Proceedings of the National Academy of Sciences, 2013 DOI: 10.1073/pnas.1212089110

Monday, January 14, 2013

Serangga Pendorong Utama Evolusi dan Keragaman Tanaman


Riset terbaru dari Universitas Toronto Mississauga (UTM) mengenai dampak serangga terhadap populasi tanaman telah menunjukkan bahwa evolusi dapat terjadi lebih cepat dari perkiraan sebelumnya, bahkan dalam satu generasi. Studi ini dipublikasikan dalam Science edisi 5 Oktober.
“Para ilmuwan telah lama berhipotesis bahwa interaksi antara tanaman dan serangga telah membawa begitu banyak keragaman yang bisa kita lihat di antara tanaman, termasuk tanaman pertanian, namun hingga sekarang kita masih memiliki keterbatasan bukti eksperimental langsung,” kata Marc Johnson, Asisten Profesor di Departemen Biologi UTM. “Riset ini mengisi celah mendasar pada pemahaman kita tentang bagaimana seleksi alam oleh serangga menyebabkan perubahan evolusioner pada tanaman sebagaimana mereka beradaptasi, serta menunjukkan betapa cepatnya perubahan-perubahan itu bisa terjadi di alam.”
Johnson bersama rekan-rekannya dari Universitas Cornell, Universitas Montana dan Universitas Turku di Finlandia, menanam evening primrose, suatu tanaman yang umumnya mereproduksi diri dan menghasilkan keturunan identik secara genetis, ke dalam dua set plot. Masing-masing plot awalnya berisi 60 tanaman dari 18 genotipe yang berbeda (tanaman yang mengandung set mutasi yang berbeda-beda).
Untuk menguji apakah serangga mendorong evolusi pertahanan tanaman tersebut, salah satu set plot disimpan bebas dari serangga dengan aplikasi insektisida dua mingguan secara teratur selama masa penelitian. Sedangkan set plot lainnya menerima serangga dalam tingkat yang alami.
Plot-plot tersebut dibiarkan bertumbuh tanpa gangguan lain selama lima tahun. Setiap tahun, Johnson beserta rekan-rekannya menghitung jumlah dan jenis tanaman yang memenuhi plot. Mereka juga menganalisis frekuensi perubahan genotipe evening primrose yang berbeda-beda serta sifat-sifat yang terkait dengan genotipe tersebut.
Seekor ulat ngengat evening primrose (Schinia florida) melahap tunas bunga evening primrose biasa (Oenothera biennis). Ngengat-ngengat ini secara eksklusif memakan bunga dan buah-buahan dari evening primrose dan dalam menanggapi seleksi alam yang diakibatkan oleh hal ini dan ngengat spesialis lainnya, populasi evening primrose di kemudian hari mengembangkan bunga serta memproduksi tingkat tinggi bahan kimia beracun yang disebut ellagitannins dalam buah-buahan mereka. Evolusi ini efektif mengurangi kerusakan organ reproduksi tanaman tersebut beserta keturunannya. (Kredit: Marc Johnson)
Johnson mengungkapkan bahwa evolusi, yang hanya merupakan perubahan frekuensi genotipe dari waktu ke waktu, diamati pada semua plot setelah hanya dalam satu generasi. Populasi tanaman mulai menyimpang secara signifikan dalam menanggapi serangan serangga dalam sedikitnya tiga hingga empat generasi. Misalnya, tanaman yang tidak dikenai insektisida mengalami peningkatan frekuensi genotipe yang terkait dengan tingkat bahan kimia beracun yang lebih tinggi dalam buah-buahan, yang membuat mereka terasa enak bagi benih ngengat predator. Tanaman yang berbunga belakangan, sehingga terhindar dari serangga predator, juga meningkat frekuensinya.
Johnson mengatakan temuan ini juga menunjukkan bahwa evolusi mungkin menjadi mekanisme penting yang menyebabkan perubahan ekosistem secara keseluruhan. “Sebagaimana populasi tanaman ini berevolusi, sifat mereka mengubah dan mempengaruhi interaksi mereka dengan serangga dan spesies tanaman lainnya, yang pada gilirannya dapat mengembangkan adaptasi untuk mengatasi perubahan tersebut,” kata Johnson. “Kelimpahan dan daya saing populasi tanaman mengalami perubahan. Evolusi dapat mengubah ekologi dan fungsi organisme serta keseluruhan ekosistem.”
Perubahan ekologis tambahan terjadi dalam plot ketika serangga sudah disingkirkan. Tanaman pesaing, seperti dandelion, memasuki kedua set plot tersebut namun lebih berlimpah pada plot tanpa serangga. Hal ini pada gilirannya mengurangi jumlah tanaman evening primrose. Dandelion yang lebih banyak menggunakan sumber dan juga berpotensi mencegah cahaya untuk mencapai benih evening primrose, mempengaruhi perkecambahan biji. Menurut Johnson, perubahan ekologis merupakan hasil dari tekanan dari ulat ngengat yang suka memakan dandelion.

“Apa yang ditunjukkan dalam penelitian ini adalah bahwa perubahan dalam populasi-populasi tanaman ini bukan hasil dari pergeseran genetik, melainkan secara langsung karena seleksi alam oleh serangga pada tanaman,” kata Johnson. “Hal ini juga menunjukkan seberapa cepat perubahan evolusioner dapat terjadi (tidak lebih dari ribuan tahun), tetapi selama bertahun-tahun, dan semuanya terjadi di sekitar kita.”

Kredit: Universitas Toronto
Jurnal: A. A. Agrawal, A. P. Hastings, M. T. J. Johnson, J. L. Maron, J.-P. Salminen. Insect Herbivores Drive Real-Time Ecological and Evolutionary Change in Plant Populations. Science, 2012; 338 (6103)
Sumber :http://www.faktailmiah.com/


Thursday, December 27, 2012

Terapi Nanopartikel DNA


Para peneliti dari Universitas Johns Hopkins dan Northwestern telah menemukan cara untuk mengontrol bentuk nanopartikel yang berfungsi memindahkan DNA dalam tubuh, serta menunjukkan bahwa bentuk-bentuk penghantar ini bisa membuat perbedaan besar dalam hal pengobatan kanker dan berbagai penyakit lainnya. 
Studi yang dipublikasikan pada 12 Oktober dalam jurnal Advanced Materials ini juga patut menjadi perhatian karena teknik terapi gen ini tidak harus memanfaatkan virus untuk menghantarkan DNA ke dalam sel. Beberapa upaya terapi gen yang bergantung pada virus mengandung berbagai resiko kesehatan.

“Nanopartikel ini bisa menjadi kendara penghantar yang lebih aman dan efektif untuk terapi gen, menargetkan berbagai penyakit genetik, kanker serta penyakit-penyakit lain yang bisa disembuhkan dengan pengobatan gen,” kata Hai-Quan Mao, profesor ilmu dan teknik material di Sekolah Teknik Whiting Johns Hopkins.
Mao telah mengembangkan nanopartikel nonviral untuk terapi gen selama satu dekade. Pendekatannya melibatkan pengkompresian potongan-potongan DNA yang sehat dalam lapisan polimer pelindung. Partikel-partikel ini dirancang untuk menghantarkan muatan genetiknya hanya setelah partikel ini bergerak melewati aliran darah dan memasuki sel-sel yang menjadi sasaran. Dalam sel-sel tersebut, polimer mengurangi dan melepaskan DNA. Dengan menggunakan DNA ini sebagai pola dasar, maka sel-sel tersebut dapat memproduksi protein fungsional yang mampu memerangi penyakit.
Ilustrasi ini menggambarkan molekul-molekul DNA (hijau muda), dikemas ke dalam nanopartikel dengan menggunakan polimer dalam dua segmen yang berbeda. Satu segmennya (hijau gelap) membawa muatan positif yang mengikatnya pada DNA, dan segmen lainnya (cokelat) membentuk lapisan pelindung pada permukaan partikel. Dengan menyesuaikan pelarut yang mengelilingi molekul-molekul ini, para peneliti Johns Hopkins dan Northwestern mampu mengontrol bentuk nanopartikel. Tes hewan yang dilakukan tim riset menunjukkan bahwa bentuk nanopartikel secara dramatis dapat mempengaruhi seberapa efektif penghantaran terapi gen ke dalam sel. Gambar pada latar depan, meskipun diperoleh dari model komputasi, nyaris sesuai dengan gambar latar belakang abu-abu, yang dikumpulkan melalui mikroskop elektron transmisi. (Kredit: Wei Qu, Universitas Northwestern, gambar simulasi; Xuan Jiang, Universitas Johns Hopkins, gambar mikroskopis)

Sebuah kemajuan besar dalam pekerjaan ini adalah kemampuan para peneliti “menyetel” partikel-partikel dalam tiga bentuk; batang, cacing serta bulatan, yang meniru bentuk dan ukuran partikel-partikel virus. “Kami bisa mengamati bentuk-bentuk itu dalam laboratorium, tapi kami tidak sepenuhnya memahami mengapa mereka mengasumsikan bentuk-bentuk itu dan bagaimana cara mengontrol prosesnya dengan baik,” kata Mao. Pertanyaan-pertanyaan ini penting karena sistem pengiriman DNA yang ia bayangkan mungkin memerlukan bentuk-bentuk spesifik yang seragam.
Untuk mengatasi masalah ini, sekitar tiga tahun lalu Mao mencari bantuan dari rekan-rekannya di Northwestern. Sementara Mao bekerja di laboratorium tradisionalnya yang serba basah, para peneliti di Northwestern merupakan pakar dalam melakukan eksperimen serupa dengan menggunakan model komputer yang canggih.
Erik Luijten, profesor ilmu dan teknik material serta matematika terapan di Sekolah Teknik dan Ilmu Terapan McCormick Universitas Northwestern dan sebagai penulis pendamping dalam makalah, memimpin analisis komputasi pada temuan-temuan tersebut untuk menentukan mengapa nanopartikel diformasikan ke dalam bentuk-bentuk yang berbeda.
“Simulasi komputer dan model teoritis kami telah memberi pemahaman mekanistik, mengidentifikasi apa yang bertanggung jawab atas perubahan bentuk tersebut,” kata Luijten. “Kami kini dapat memprediksi secara tepat bagaimana memilih komponen nanopartikel jika ada yang mengingini bentuk tertentu.”
Penggunaan model komputer memungkinkan tim Luijten untuk meniru percobaan laboratorium tradisional dalam waktu yang jauh lebih cepat. Simulasi dinamika molekul ini dilakukan pada Quest, sistem komputasi berkinerja tinggi dari Northwestern. Komputasi ini begitu rumit sehingga beberapa di antaranya memerlukan 96 prosesor komputer yang bekerja secara bersamaan dalam satu bulan.
Dalam makalah mereka, para peneliti juga ingin menunjukkan pentingnya bentuk partikel dalam menghantarkan terapi gen. Para anggota tim riset melakukan tesnya pada hewan, kesemuanya menggunakan bahan partikel yang sama dan DNA yang sama. Satu-satunya perbedaan adalah pada bentuk partikel: batang, cacing dan bulatan.
“Partikel berbentuk cacing menghasilkan ekspresi gen dalam sel-sel hati 1.600 kali lebih banyak dibanding yang dihasilkan dua bentuk lainnya,” kata Mao. “Artinya, produksi nanopartikel dalam bentuk ini bisa menjadi cara yang lebih efisien untuk menghantarkan terapi gen ke dalam sel-sel tersebut.”
Bentuk-bentuk partikel yang digunakan dalam penelitian ini diformasi lewat cara mengemas DNA dengan polimer dan mengeksposnya ke berbagai pengenceran pelarut organik. Penolakan DNA terhadap pelarut, dengan bantuan rancangan polimer dari tim riset, menyebabkan nanopartikel berkontraksi menjadi bentuk tertentu dengan sebuah “perisai” di seputar materi genetik untuk melindunginya dari penghapusan oleh sel-sel kekebalan.
Dana awal untuk penelitian ini berasal dari Institut NanoBioTeknologi Johns Hopkins. Riset kemitraan Johns Hopkins-Northwestern memperoleh dukungan pendanaan dari National Institutes of Health.

Kredit: Johns Hopkins
Jurnal: Xuan Jiang, Wei Qu, Deng Pan, Yong Ren, John-Michael Williford, Honggang Cui, Erik Luijten, Hai-Quan Mao.
sumber http://www.faktailmiah.com/

Monday, December 10, 2012

Light Allergic Diseases (Alergi Cahaya)

Light Allergic Diseases



This strange disease suffered by a girl who was afraid he alegri light when exposed to light. Megan Hume, 10, had to bury his dream to leave the house to play with their peers. Just could curl up in a dark room. Avoid sunlight as fierce poison to the body. Severe allergic reaction suddenly appear every time his body exposed to light. Just a few minutes outside the house could even make him feel great pain. Her skin was blistered and swollen like exposed burns.

  Not only the sun, it also becomes very sensitive to a variety of light sources. Ranging from light bulbs to light the screen. "Watching television is about an hour alone can create a really bad allergic reaction," said his mother, Michelle, dikutipmirror.co.uk.Penderitaan began July 22. When Megan discovered a rash on his neck wound. "We must always keep him in the dark room. We really desperate to find out the cause, let alone any saw Megan initially rebelled because they felt trapped." Families forced to put up curtains home permanently. Overlay windows and doors with a dark coating to prevent light seeps. "Getting out at night is also not safe because no moonlight and light street lights," he said. While waiting for the results of the analysis of physicians, Megan continued taking the drug and applying a special cream 20 times a day to reduce the effects of allergies. And, if forced to leave the house for medical treatment, he had to cover the entire surface of the skin with clothing, sunglasses, and protective umbrellas.

Sunday, December 9, 2012

The Glowing Tobacco


Tembakau yang Berpendar 

     Setelah sobat melihat gambar tanaman tembakau dibawah ini, apa yang sobat pikirkan ?? Hasil edit dari salah satu Program olah foto digital ? Wajar saja bagi sebagian orang yang tidak tahu tentang perkembangan ilmu pengetahuan khusus nya dalam bidang Biologi. 
    Ya, Biologi telah berkembang demikian pesatnya sejak tercetusnya Biologi modern. Cabang ilmu biologi yang khusus dikembangkan sebagai wadah perkembangan Biologi itu sendiri disebut Bioteknologi. Nah dari namanya aja udah kebayangkan, Biologi dipadukan dengan Teknologi, sesuatu yang bersifat ilmiah dipadukan dengan sesuatu yang bersifat sains, sehingga mungkin tidak berlebihan jika kita mengatakan "Tidak ada yang tidak mungkin dengan adanya Bioteknologi". Mahluk hidup aja bisa di gandakan atau dengan nama kerennya Kloning,,,^_^
     Gambar disamping adalah contoh produk bioteknologi yang dinamakan tanaman Transgenik. Transgenik adalah suatu proses penyisipan gen dari suatu individu ke individu lain baik dalam ruang lingkup spesies yang sama atau bahkan dalam Kingdom yang berbeda sehingga menghsilkan sifat baru pada individu tersebut (bukan Kloning lo,,). Gambar disamping merupakan hasil transgenik antara Tanaman Tembakau dengan Kunang-kunang (jadi bukan hasil editan yaaa,,).
       Kunang-kunang (Photuris) menggunakan substrat berupa D-lusiferin untuk menghasilkan pendaran. D-lusiferin akan mengalami dekarboksilasi oksidatif dengan bantuan energi dari ATP sehingga dihasilkan emisi cahaya. Gen kunang2 yang mengekspresikan sifat pendaran tersebut di suntikkan pada tanaman tembakau transgenic yang diinfeksi dengan Agrobacterium tumefaciens sehingga menghasilkan tembakau yang dapat berpendar.